Tatap Muka – Puisi Peziarah Cinta

25 Oktober, 2007 at 7:53 AM (Cinta, Pergulatan, Peziarahan, Puisi) (, , , , , , , )

Ya Allah
sekian lama aku mencari-Mu
Aku telah berjumpa dengan-Mu
Aku sempat berbahagia bersama-Mu

Jacob-AngelTetapi kini
siapakah Kau, ya Allah
siapakah aku, ya Allah
hingga aku berperang melawan-Mu?
aku tak tahan menawap wajah-Mu
aku tak berdaya bergelut dengan-Mu
diriku hancur muka terbakar
seperti mau mati rasanya

Kapankah aku Kauhidupkan lagi?
Ketika aku merasa kalah
aku merasa hancur luluh
Ketika aku merasa menang
aku merasa sungguh ada
dan Kauagungkan sebagai manusia
 

Tetapi mungkinkah Kau kukalahkan?
Mungkinkah aku sungguh menang?
Apakah Kau hanya berpura-pura mengalah?
supaya aku bisa beristirahat sejenak
untuk mengambil nafas hembusan-Mu?
dan melihat diri ini ciptaan-Mu semata,
ciptaan yang baru Engkau agungkan
dengan Kauajak berperang melawan Engkau
dan Kaubiarkan menang?

Ya Allah
betapa agunglah Cinta-Mu
yang mengajakku bergulat
supaya semakin mencinta-Mu

Kandar Ag. – Mlati, 29 Juni – 3 Juli 2002

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

Tempat paling “keren” untuk cari ide!

22 Oktober, 2007 at 8:14 AM (Anekdot) (, , , , , , , )

Pagi tadi di kamar mandi tiba-tiba saya tersenyum sendiri. Seperti biasa saya memulai “ritual” rutin dengan jongkok. Kayak ada yang mau keluar lewat “ujung” sana. Tetapi beberapa menit berselang hanya air kecil saja yang keluar, disertai hembusan angin dari lubang satunya. Hanya itu! Asyem!

Tetapi aku sabar menanti, sambil… ya jadilah posting ini! 🙂

 

Public Toilets. Cari aja di situs FunPicMaksudnya cuma mau seperlunya saja di ruang kecil itu. Gara-gara kepala ini tiba-tiba diingatkan oleh saat-saat lain di kamar mandi, entah waktu buang air kecil, mandi, mencuci, “ngosek” KM, dan terlebih saat buang air besar seperti tadi pagi itu. Dan ini yang tiba-tiba membuat saya tersenyum: betapa ide-ide brilliant sering muncul justru pada saat berada di kamar mandi! Paling sering adalah ide-ide yang keluar selama jongkok! 🙂

Saya penasaran, apakah hanya saya doang yang mengalami hal itu. Ternyata tidak! Ketika saya bertanya ke salah seorang teman, “Kamu setuju kalau kamar mandi itu sumber ide?” Dia langsung jawab, “Setuju banget! Karena di sanalah aku bisa apa adanya tanpa ditutup-tutupi. Jadinya ya… gitu deh! Ada pencerahan gitu…” Teman saya itu menganggap KM sebagai tempat “penyucian diri”! Hehehe… betul juga, saya pikir.

Sambil mandi, kadang-kadang saya bersiul-siul menyenandungkan lagu yang saat itu terlintas. Tetapi kadang nada-nadanya berubah, mengalir sendiri dan merangkai notasi baru dari lagu yang saya sendiri belum pernah kenal: saya mencipta lagu! Sayangnya, tak pernah nada-nada itu saya rekam. Dan ketika saya coba menranskripnya sesudah mandi, hilang nada-nada itu. Jadinya, lagu itu tak pernah ada sama sekali. Sayang… mungkin saya kurang berbakat menjadi pencipta lagu.

Notasi lagu di kamar mandi hanyalah sebagian saja dari segudang ide yang pernah berpendar di sana. Kadang pendaran itu begitu terang dan membekas lama dalam ingatan, namun kadang hanya sebentar saja dan segera hilang begitu “hajatan” itu selesai. Selanjutnya bagaimana pengaruh si ide-ide itu, tergantung pada orangnya:

🙂 Bayangkanlah dia seorang penulis puisi, cerpen, novel, atau penulis skenario film (bahkan mungkin skenario terror, jangan ah!)!

🙂 Bayangkan seandainya dia seorang politikus, anggota DPR-MPR, pemimpin partai, atau politikus tingkat kabupaten, kecamatan, kelurahan atau kampung. Bayangkan pula dia seorang wapres atau presiden!

🙂 Bayangkan dia seorang pengamat budaya, pengamat politik, pengamat linkungan, dosen, motivator, trainer, pemikir, filusuf, teolog, da’i, pastor, pendeta, dramawan, aktor, penari …

🙂 Jangan lupa pula bayangkan dia pengusaha pupuk, tukang sedot WC, petani, bakul jengkol, pemilik bank, pengusaha restoran, manager hotel, manager swalayan, pemilik pom bensin, juragan sabun, direktur LSM …

🙂 Jangan ketinggalan bayangkan seorang wartawan, dan blogger… (hehehe…)

🙂 dan Anda sendiri …

Saya kok jadi kepengen memperoleh gambaran, berapa prosen sumbangan pengaruh ide dari comfortable room itu dibanding dari “situs-situs” lain terhadap langkah seseorang mengambil keputusan untuk hidupnya, untuk karirnya, untuk perusahaannya, dan untuk hajat hidup orang banyak. Adakah yang punya info? (kasih tahu donk!) 🙂

Lampu IdeBerapa pun prosentasenya, saya kok sangat yakin ada. Pernahkah Anda buang air besar atau mandi tanpa terbersit gagasan sedikit pun mengenai dunia Anda? Mungkin saja sih, karena memang ada orang yang berlama-lama di ruangan itu untuk merasakan kenikmatan anal atau genital semata (hehe… sorry!), atau sekedar memanjakan diri seperti ditawarkan oleh iklan sabun atau krim kecantikan di TV. (Nah lho, kamar mandi menjadi sumber ide iklan!)

Di WC, tauuuuk...!!Saya mau buka sedikit rahasia seorang teolog Katolik di negeri kita. Kebetulan beliau adalah dosen saya dulu waktu di Universitas Sanata Dharma Jogja. Namanya Dr. Tom Jacobs, SJ. Dalam satu kesempatan kuliah beliau meminta mahasiswanya untuk mengkritik buku Iman Katolik yang beliau susun. Dasar mahasiswa paling suka ngritik, ibarat gayung bersambut, mereka pun memberondong buku referensi umat Katolik itu dengan kritikan. Pada sesi tanggapan sang dosen, Romo Tom (begitu beliau akrab dipanggil) bertanya, “Kamu tahu nggak, di mana saya menyusun materi untuk buku itu?” Mosok pertanyaannya kayak gitu? Di ruang kerja? Perpustakaan? Ruang doa? Kapel? “Di WC tauuuk..!?” Kami semua terperanjat mendengar keterangan itu. “Jadi layak, bila ada kekurangan di sana sini,” beliau berkilah.

Busyet! Tapi masuk akal sekali toh? Jawaban itu sangat jujur dan tulus. Kami tertawa karena seakan disadarkan oleh satu fakta keseharian yang naif namun sangat momental: detik-detik berteologi di WC!

Ungkapan senada yang tidak kalah jujurnya disampaikan pula oleh dosen yang lain. Beliau adalah dosen teologi moral, yakni Dr. B. Kieser, SJ. Dengan sedikit bergurau dia pernah bertanya di depan kelas, Siapkan pantatmu!“Dengan apa sebetulnya kita berteologi?” Para mahasiswa berpikir keras: dengan iman? Dengan akal budi? Dengan hati? Dengan pengalaman keterlibatan? Sang dosen hanya bergeleng kepala, dan dengan mimik serius beliau memberikan jawaban yang benar-benar di luar dugaan, “Dengan pantat! Bokong-lah yang paling berjasa. Seorang teolog membaca, merenung, berpikir, terus menulis sambil duduk toh?! Jadi, awas! Pantatmu itu aset berteologi!” (hehe…yang terakhir sudah saya edit!) 🙂

 

So, mari tersenyum dan mensyukuri saat-saat penuh anugerah di ruang kecil itu. Don’t miss it! Siapa tahu dari sanalah dunia Anda berubah. Dan jangan kecut, kalau akhirnya ketahuan bahwa kebijakan-kebijakan politis di negeri kita, bahkan di dunia ini, semula terlahir dari saat be’ol di WC dan kerja keras si pantat! *** 🙂

Permalink 8 Komentar

Pijar Optimisme Tukang Sedot WC

16 Oktober, 2007 at 9:59 AM (Insight, Pijar Optimisme, Reflection) (, , )

Di depan pintu pagar rumah kontrakan saya tertempel banyak stiker iklan yang menawarkan jasa layanan sedot WC. Setting-layout stiker-stiker itu sangat sederhana. Satu di antaranya menarik perhatian saya:

“DINAS KEBERSIHAN
SEDOT & MAMPET WC, AIR LIMBAH & LUMPUR
AHLI: Bikin Sepiteng & Rembesan WC
Telp.: … HP: …”

Kalau WC Anda mampetSaya belum pernah menggunakan jasa mereka, sehingga saya pun tidak tahu siapa dan bagaimana layanan mereka. Apakah mereka itu dinas resmi atau partikulir, saya tidak tahu. Namun saya tertarik mencermati bunyi tulisan dalam stiker itu.

Rangkaian kata-katanya disusun tanpa peduli logika, ejaan dan tata bahasa yang baku. Kalau dibaca dengan serius memakai kacamata kritikus bahasa, tulisan stiker itu akan terdengar lucu! Selain terdapat kesalahan eja atas kata “septic-tank” menjadi “sepiteng“, juga terdapat kekacauan logika dalam frase-frasenya: “sedot” (kata kerja) disejajarkan dengan “mampet” (kata sifat). Logikanya, frase itu bisa disalahartikan dengan “setelah WC disedot, hasilnya WC mampet”?!

Saya jadi tersenyum. Habis, kalau konsumen memakai penafsiran dengan logika seperti itu, mana mau dia menghubungi nomor telepon yang tertera pada stiker itu?!
Namun anehnya, pesan advertisement tempel itu sampai ke sasaran: kalau WC saya mampet, saya dapat menghubungi nomor telepon itu untuk minta pertolongan!

Demi membaca stiker itu perasaan tergugah dan terharu saya malah lebih dominan daripada ngelantur memakai logika kacau tadi untuk semakin menertawakan si pembuat iklan itu! Saya terharu karena melihat kegigihan niat si pemilik nomor layanan sedot WC itu untuk memasarkan jasanya. Dia merangkai kata-kata iklan semampunya, memesan dan kemudian menyebarkan stiker itu sebanyak yang dia bisa. Saya tergugah karena hampir yakin seratus persen bahwa pemilik stiker iklan “murahan” itu adalah orang yang punya skill bukan dari bangku akademis tetapi lebih dari pengalaman keseharian bergelut dengan permasalahan WC. Ketrampilannya yang terasah dari WC satu ke WC yang lain telah mampu membuatnya yakin untuk hidup dari pekerjaan itu: ia mengembangkan intrepreneurship! Ketakpedulian saya akan logika kacau tadi adalah efek dari keyakinan pemasang iklan itu: ketrampilan praktis menafikan kata-kata iklannya sendiri, dan orang akan percaya pada hard-competency-nya ketimbang pada apa yang mampu dia rangkai secara verbal! Dan inilah benih kesuksesan yang telah tumbuh dalam diri tukang sedot WC itu.

Memang, kesuksesan adalah apa yang dipraktekkan, bukan apa yang dipikirkan dan dipertimbangkan saja!

Si pemilik iklan itu begitu yakin akan kemampuannya menyedot WC mampet, dan tidak memusingkan diri dengan kata-kata serta penampilan iklannya. Dan yang jelas: dia telah mampu membiayai pembuatan stiker dan penyebarannya untuk menjaga agar usahanya tetap bergulir.

Saya salut! Orang-orang seperti ini secara konkret ada di antara kita!

Bravo!
Kandar Ag.

Permalink 8 Komentar

Aku turut merasakan getar gema Idul Fitri

13 Oktober, 2007 at 8:15 AM (Spiritualitas, Syukur) (, , , )

Lebaran 1428 H ini aku tidak mudik. Ini Lebaran keempat tanpa berkumpul dengan keluarga dan kerabat di kampung semenjak aku bekerja di Jakarta. Aku mudik pada perayaan Natal dan Paskah.

Meskipun menganut iman Katholik, ketika masih bekerja di wilayah Jateng-DIY dulu, setiap Lebaran aku pasti pulang ke rumah di Kulonprogo Jogja. Lebaran bagaimanapun juga turut menjadi hari istimewa bagi keluargaku. Keluarga besarku non-muslim. Namun kami turut menyambut dan merayakannya juga.

Dulu ketika masih kanak-kanak hari Lebaran sangatlah dinanti-nanti, hitung mundur dengan harapan suapaya hari itu cepat datang. Apalagi kalau bukan berharap memakai sepatu baru, baju baru, main petasan dan tentu saja…uang saku dari keluarga-keluarga yang kami kunjungi bersama teman-teman sebaya! 🙂 Jumlah anak-anak kecil di kampungku sekarang ini tidak sebanyak jamanku dulu. Lebaran terasa tidak meriah tanpa rombongan anak-anak.

Sudah menjadi tradisi setiap Lebaran kerabat dekat maupun jauh, baik yang muslim maupun non-muslim selalu “ujung” ke rumahku, tempat tinggal mendiang kakek dan nenek.  (Ujung = istilah untuk menyebut aktivitas silaturahmi Lebaran). Kakek dan nenek sudah lama tiada. Yang mendiami rumah kini tinggal bapak sebagai anak bungsu, dan ibu saja. Rupa-rupanya sesudah kakek dan nenek meninggal, rumahku masih menjadi “jujugan” kerabat kalau mereka pulang dari rantau, terutama pada hari Lebaran seperti ini. Kesejukan rumah keluarga besar kakek dan nenek yang kini kami tinggali itu rupa-rupanya masih menghadirkan suasana romantisme bagi mereka. Lagipula, kini bapak sudah dituakan di antara kerabat dan sanak saudara kami. Setiap Lebaran rumahku pasti ramai tamu. Dan tak jarang beberapa tamu yang masih memegang tradisi “ujung” itu, berlutut di hadapan bapak untuk menyampaikan niat bersilaturahmi: mengakui kesalahan dan mohon maaf. Selama itu terhidang penganan Lebaran seperti umumnya, dan yang tidak ketinggalan pasti ada tape ketan dan emping melinjo buatan ibu.

Betul adanya kalau Hari Raya Lebaran yang diwarnai arus mudik dan arus balik adalah hajatan massal di negeri kita. Siapa pun tanpa memandang golongan atau agamanya turut merasakan getar gema doa takbiran dan roh silaturahmi Idul Fitri. Sekurang-kurangnya aku turut merasakan getar gema itu…

Ada satu hal yang menarik untuk diceritakan di sini. Pemudik Lebaran bukan hanya kaum muslim saja. Nyatanya, selama puluhan tahun saya berlebaran di rumah Jogja saya ketemu dengan wajah-wajah rantau di gereja pada saat menghadiri “Misa Idul Fitri”! Kedengaran aneh bukan? Tetapi begitulah kami menyebutnya. 1 Syawal pagi saat saudara-saudari muslim berbondong-bondong ke lapangan kelurahan untuk melaksanakan sholat Id, saat itu pula kami umat Katholik turut dalam bondongan itu menuju gereja untuk melaksanakan misa. Bukan karena hari Minggu, tetapi misa itu memang diadakan khusus untuk turut “ngombyongi” Hari Raya Lebaran! Sesudah misa, acara salam-salaman di depan gereja pun terjadi selayaknya orang berhalal bihalal.

Mungkin ada yang bertanya, misa seperti apa itu? Sebetulnya misa “biasa”. Hanya saja menjadi istimewa karena yang dirayakan pada saat itu – yakni misteri pengampunan Allah yang dikonkretkan dengan saling mengampuni di antara sesama manusia – mendapatkan konteks yang sangat sesuai yaitu Idul Fitri. Salah satu frase dari doa inti dalam perayaan misa kudus, yakni doa Bapa Kami, berbunyi demikian, “Berilah kami rejeki pada hari ini, dan ampunilah kesalahan kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami.” Bapa Kami adalah doa yang diajarkan oleh Yesus Kristus sendiri kepada pada murid-Nya.

Ampunan dari pihak lain, tidak saja hanya dalam rangka Idul Fitri namun dalam hidup bersama sehari-hari, merupakan tindakan yang kita harap dan bahkan kita mohon.

Saling mengampuni dan memaafkan dengan demikian menjadi tindakan berbagi dan saling mengabulkan doa. Sungguh, hal ini menyatakan tindakan ilahi yang diragakan oleh sesama insan berdosa.

Kita tahu apa yang kita harap dan mohon, pada saat yang sama bergema perintah untuk mewujudkan harapan dan permohonan itu bagi sesama: pengampunan.

Kita mohon diampuni, pada saat yang sama secara imanen bergema di dalam hati nurani kita perintah untuk mengampuni. Setiap orang bisa mempertimbangkan kesejajaran insani seperti ini: tindakan memaafkan akan menjadi ukuran pengampunan untuk diri kita sendiri. Kita dimaafkan sejauh kita memaafkan! Allah Maha Pencipta telah menganugerahkan berkah kemampuan itu sejak Ia menciptakan manusia baik adanya.

Realitas pengampunan tentulah bukan sekedar tindakan seremonial belaka, apalagi hanya artifisial. Pengampunan paripurna memang semata-mata hak Allah, namun manusia dapat mengambil bagian dalam tindakan ilahi tersebut. Kalau tidak, bagaimana kita bisa memaknai silaturahmi seperti Idul Fitri ini?!

Mengampuni nyata-nyata merupakan tindakan re-creation yang menyegarkan jiwa. Aksi itu mengembalikan energi hidup yang telah tercerai-berai dalam pemborosan ketika kita melukai hati sesama insan, ketika kita berdosa terhadap sesama makhluk milik Sang Pencipta. Dengan mengampuni dan diampuni kita menghadirkan kembali realitas awal yang suci dan bersih, kembali ke fitrah untuk melangkah ke depan dengan kesegaran jiwa dan kegembiraan.

Idul Fitri mestinya bisa sungguh menjadi perayaan iman keagamaan akan pengampunan ilahi ketika sesama insan berdosa saling memperagakan tindakan ilahi itu.

Selamat merayakan Idul Fitri 1428 H.
Rasakanlah kebahagian menerima ampunan
seperti kebahagiaan memberi ampunan!

Kandar Ag.

Permalink 2 Komentar

Next page »