Tatap Muka – Puisi Peziarah Cinta
Ya Allah
sekian lama aku mencari-Mu
Aku telah berjumpa dengan-Mu
Aku sempat berbahagia bersama-Mu
Tetapi kini
siapakah Kau, ya Allah
siapakah aku, ya Allah
hingga aku berperang melawan-Mu?
aku tak tahan menawap wajah-Mu
aku tak berdaya bergelut dengan-Mu
diriku hancur muka terbakar
seperti mau mati rasanya
Kapankah aku Kauhidupkan lagi?
Ketika aku merasa kalah
aku merasa hancur luluh
Ketika aku merasa menang
aku merasa sungguh ada
dan Kauagungkan sebagai manusia
Tetapi mungkinkah Kau kukalahkan?
Mungkinkah aku sungguh menang?
Apakah Kau hanya berpura-pura mengalah?
supaya aku bisa beristirahat sejenak
untuk mengambil nafas hembusan-Mu?
dan melihat diri ini ciptaan-Mu semata,
ciptaan yang baru Engkau agungkan
dengan Kauajak berperang melawan Engkau
dan Kaubiarkan menang?
Ya Allah
betapa agunglah Cinta-Mu
yang mengajakku bergulat
supaya semakin mencinta-Mu
Kandar Ag. – Mlati, 29 Juni – 3 Juli 2002
Tempat paling “keren” untuk cari ide!
Pagi tadi di kamar mandi tiba-tiba saya tersenyum sendiri. Seperti biasa saya memulai “ritual” rutin dengan jongkok. Kayak ada yang mau keluar lewat “ujung” sana. Tetapi beberapa menit berselang hanya air kecil saja yang keluar, disertai hembusan angin dari lubang satunya. Hanya itu! Asyem!
Tetapi aku sabar menanti, sambil… ya jadilah posting ini! 🙂
Maksudnya cuma mau seperlunya saja di ruang kecil itu. Gara-gara kepala ini tiba-tiba diingatkan oleh saat-saat lain di kamar mandi, entah waktu buang air kecil, mandi, mencuci, “ngosek” KM, dan terlebih saat buang air besar seperti tadi pagi itu. Dan ini yang tiba-tiba membuat saya tersenyum: betapa ide-ide brilliant sering muncul justru pada saat berada di kamar mandi! Paling sering adalah ide-ide yang keluar selama jongkok! 🙂
Saya penasaran, apakah hanya saya doang yang mengalami hal itu. Ternyata tidak! Ketika saya bertanya ke salah seorang teman, “Kamu setuju kalau kamar mandi itu sumber ide?” Dia langsung jawab, “Setuju banget! Karena di sanalah aku bisa apa adanya tanpa ditutup-tutupi. Jadinya ya… gitu deh! Ada pencerahan gitu…” Teman saya itu menganggap KM sebagai tempat “penyucian diri”! Hehehe… betul juga, saya pikir.
Sambil mandi, kadang-kadang saya bersiul-siul menyenandungkan lagu yang saat itu terlintas. Tetapi kadang nada-nadanya berubah, mengalir sendiri dan merangkai notasi baru dari lagu yang saya sendiri belum pernah kenal: saya mencipta lagu! Sayangnya, tak pernah nada-nada itu saya rekam. Dan ketika saya coba menranskripnya sesudah mandi, hilang nada-nada itu. Jadinya, lagu itu tak pernah ada sama sekali. Sayang… mungkin saya kurang berbakat menjadi pencipta lagu.
Notasi lagu di kamar mandi hanyalah sebagian saja dari segudang ide yang pernah berpendar di sana. Kadang pendaran itu begitu terang dan membekas lama dalam ingatan, namun kadang hanya sebentar saja dan segera hilang begitu “hajatan” itu selesai. Selanjutnya bagaimana pengaruh si ide-ide itu, tergantung pada orangnya:
🙂 Bayangkanlah dia seorang penulis puisi, cerpen, novel, atau penulis skenario film (bahkan mungkin skenario terror, jangan ah!)!
🙂 Bayangkan seandainya dia seorang politikus, anggota DPR-MPR, pemimpin partai, atau politikus tingkat kabupaten, kecamatan, kelurahan atau kampung. Bayangkan pula dia seorang wapres atau presiden!
🙂 Bayangkan dia seorang pengamat budaya, pengamat politik, pengamat linkungan, dosen, motivator, trainer, pemikir, filusuf, teolog, da’i, pastor, pendeta, dramawan, aktor, penari …
🙂 Jangan lupa pula bayangkan dia pengusaha pupuk, tukang sedot WC, petani, bakul jengkol, pemilik bank, pengusaha restoran, manager hotel, manager swalayan, pemilik pom bensin, juragan sabun, direktur LSM …
🙂 Jangan ketinggalan bayangkan seorang wartawan, dan blogger… (hehehe…)
🙂 dan Anda sendiri …
Saya kok jadi kepengen memperoleh gambaran, berapa prosen sumbangan pengaruh ide dari comfortable room itu dibanding dari “situs-situs” lain terhadap langkah seseorang mengambil keputusan untuk hidupnya, untuk karirnya, untuk perusahaannya, dan untuk hajat hidup orang banyak. Adakah yang punya info? (kasih tahu donk!) 🙂
Berapa pun prosentasenya, saya kok sangat yakin ada. Pernahkah Anda buang air besar atau mandi tanpa terbersit gagasan sedikit pun mengenai dunia Anda? Mungkin saja sih, karena memang ada orang yang berlama-lama di ruangan itu untuk merasakan kenikmatan anal atau genital semata (hehe… sorry!), atau sekedar memanjakan diri seperti ditawarkan oleh iklan sabun atau krim kecantikan di TV. (Nah lho, kamar mandi menjadi sumber ide iklan!)
Saya mau buka sedikit rahasia seorang teolog Katolik di negeri kita. Kebetulan beliau adalah dosen saya dulu waktu di Universitas Sanata Dharma Jogja. Namanya Dr. Tom Jacobs, SJ. Dalam satu kesempatan kuliah beliau meminta mahasiswanya untuk mengkritik buku Iman Katolik yang beliau susun. Dasar mahasiswa paling suka ngritik, ibarat gayung bersambut, mereka pun memberondong buku referensi umat Katolik itu dengan kritikan. Pada sesi tanggapan sang dosen, Romo Tom (begitu beliau akrab dipanggil) bertanya, “Kamu tahu nggak, di mana saya menyusun materi untuk buku itu?” Mosok pertanyaannya kayak gitu? Di ruang kerja? Perpustakaan? Ruang doa? Kapel? “Di WC tauuuk..!?” Kami semua terperanjat mendengar keterangan itu. “Jadi layak, bila ada kekurangan di sana sini,” beliau berkilah.
Busyet! Tapi masuk akal sekali toh? Jawaban itu sangat jujur dan tulus. Kami tertawa karena seakan disadarkan oleh satu fakta keseharian yang naif namun sangat momental: detik-detik berteologi di WC!
Ungkapan senada yang tidak kalah jujurnya disampaikan pula oleh dosen yang lain. Beliau adalah dosen teologi moral, yakni Dr. B. Kieser, SJ. Dengan sedikit bergurau dia pernah bertanya di depan kelas, “Dengan apa sebetulnya kita berteologi?” Para mahasiswa berpikir keras: dengan iman? Dengan akal budi? Dengan hati? Dengan pengalaman keterlibatan? Sang dosen hanya bergeleng kepala, dan dengan mimik serius beliau memberikan jawaban yang benar-benar di luar dugaan, “Dengan pantat! Bokong-lah yang paling berjasa. Seorang teolog membaca, merenung, berpikir, terus menulis sambil duduk toh?! Jadi, awas! Pantatmu itu aset berteologi!” (hehe…yang terakhir sudah saya edit!) 🙂
So, mari tersenyum dan mensyukuri saat-saat penuh anugerah di ruang kecil itu. Don’t miss it! Siapa tahu dari sanalah dunia Anda berubah. Dan jangan kecut, kalau akhirnya ketahuan bahwa kebijakan-kebijakan politis di negeri kita, bahkan di dunia ini, semula terlahir dari saat be’ol di WC dan kerja keras si pantat! *** 🙂
Pijar Optimisme Tukang Sedot WC
Di depan pintu pagar rumah kontrakan saya tertempel banyak stiker iklan yang menawarkan jasa layanan sedot WC. Setting-layout stiker-stiker itu sangat sederhana. Satu di antaranya menarik perhatian saya:
“DINAS KEBERSIHAN
SEDOT & MAMPET WC, AIR LIMBAH & LUMPUR
AHLI: Bikin Sepiteng & Rembesan WC
Telp.: … HP: …”
Saya belum pernah menggunakan jasa mereka, sehingga saya pun tidak tahu siapa dan bagaimana layanan mereka. Apakah mereka itu dinas resmi atau partikulir, saya tidak tahu. Namun saya tertarik mencermati bunyi tulisan dalam stiker itu.
Rangkaian kata-katanya disusun tanpa peduli logika, ejaan dan tata bahasa yang baku. Kalau dibaca dengan serius memakai kacamata kritikus bahasa, tulisan stiker itu akan terdengar lucu! Selain terdapat kesalahan eja atas kata “septic-tank” menjadi “sepiteng“, juga terdapat kekacauan logika dalam frase-frasenya: “sedot” (kata kerja) disejajarkan dengan “mampet” (kata sifat). Logikanya, frase itu bisa disalahartikan dengan “setelah WC disedot, hasilnya WC mampet”?!
Saya jadi tersenyum. Habis, kalau konsumen memakai penafsiran dengan logika seperti itu, mana mau dia menghubungi nomor telepon yang tertera pada stiker itu?!
Namun anehnya, pesan advertisement tempel itu sampai ke sasaran: kalau WC saya mampet, saya dapat menghubungi nomor telepon itu untuk minta pertolongan!
Demi membaca stiker itu perasaan tergugah dan terharu saya malah lebih dominan daripada ngelantur memakai logika kacau tadi untuk semakin menertawakan si pembuat iklan itu! Saya terharu karena melihat kegigihan niat si pemilik nomor layanan sedot WC itu untuk memasarkan jasanya. Dia merangkai kata-kata iklan semampunya, memesan dan kemudian menyebarkan stiker itu sebanyak yang dia bisa. Saya tergugah karena hampir yakin seratus persen bahwa pemilik stiker iklan “murahan” itu adalah orang yang punya skill bukan dari bangku akademis tetapi lebih dari pengalaman keseharian bergelut dengan permasalahan WC. Ketrampilannya yang terasah dari WC satu ke WC yang lain telah mampu membuatnya yakin untuk hidup dari pekerjaan itu: ia mengembangkan intrepreneurship! Ketakpedulian saya akan logika kacau tadi adalah efek dari keyakinan pemasang iklan itu: ketrampilan praktis menafikan kata-kata iklannya sendiri, dan orang akan percaya pada hard-competency-nya ketimbang pada apa yang mampu dia rangkai secara verbal! Dan inilah benih kesuksesan yang telah tumbuh dalam diri tukang sedot WC itu.
Memang, kesuksesan adalah apa yang dipraktekkan, bukan apa yang dipikirkan dan dipertimbangkan saja!
Si pemilik iklan itu begitu yakin akan kemampuannya menyedot WC mampet, dan tidak memusingkan diri dengan kata-kata serta penampilan iklannya. Dan yang jelas: dia telah mampu membiayai pembuatan stiker dan penyebarannya untuk menjaga agar usahanya tetap bergulir.
Saya salut! Orang-orang seperti ini secara konkret ada di antara kita!
Bravo!
Kandar Ag.