“Ma, aku ingin menemanimu menjadi tua sampai saatnya tiba.”

7 Maret, 2016 at 10:26 AM (Blogroll, Family, Insight, Reflection, Syukur)

Twist-EuphorbiaSEJAK HARI Kamis, 3 Maret 2016 lalu hingga hari Minggu kemarin, secara beruntun aku menerima kabar berpulangnya orang-orang yang berada dalam lingkaran persahabatan dan persaudaraanku. Hari Kamis berita lelayu datang dari Mas Dedy Kristanto adik kelasku yang jelas lebih muda dariku, istrinya meninggal karena sakit sudah cukup lama. Yang kedua adalah mertua Paula adik iparku, meninggal karena gerah jantung Sabtu siang kemarin. Yang ketiga adalah besan Kang Jiman kakak sepupuku, juga meninggal karena jantung, Sabtu sore. Dan yang terakhir kalau boleh disebut adalah Pak Ireng Maulana, sang maestro musik jazz Indonesia, karena sakit jantung juga. Mereka hampir serentak dipanggil menghadap Sang Khalik.

Sempat terpikirkan sebuah mitos, kalau ada saudara yang meninggal pada hari Sabtu, biasanya akan ada saudara lain dalam lingkaran kerabat yang mengikutinya. Meskipun itu hanya dalam tataran mitos, tetapi secara begitu saja hati bertanya-tanya, siapa yang akan “diajaknya”?

Lepas dari mitos atau bukan, peristiwa kematian yang beruntun aku terima kabarnya itu seakan menarikku untuk merenung. Yang paling menggetarkan adalah pengalaman Mas Dedy yang ditinggalkan oleh istrinya yang relatif lebih muda dari aku. Bagaimana kalau aku ditinggalkan oleh istriku, dengan dua anak yang masih kecil-kecil? Aku sampai tak berani melanjutkan pengandaian yang menyedihkan itu. Aku merasa lebih berarti untuk memaknainya dalam kerangka kehidupanku sekarang, bagaimana agar menjadi lebih bermakna. Bukankah kematian bermakna karena kehidupan yang telah dijalaninya? Bukankah kematian adalah mahkota kehidupan? Tinggal sekarang bagaimana mahkota itu mau dibuat indah bersinar atau hanya seadanya.

Hari Minggu kemarin aku melayat ke satu dari 2 pemakaman saudaraku di dua tempat yang berbeda (satu di Sleman Jogja, satu di Depok Jawa Barat), aku mencoba menangkap pancaran mahkota kedua saudaraku itu. Meskipun keduanya bukan saudaraku langsung dalam ikatan darah dan bahkan jarang bertemu, namun aku yakin riak-riak kebaikan mereka sampai kepadaku dalam berbagai rupa dan bentuk. Disadari atau tidak, hidupku adalah bentukan dari setiap kebaikan dari segala arah, karena aku tidak hidup sendirian di tengah pulau terpencil. Syukur kepada Tuhan Mahakasih dan Maharahim atas keberadaan mereka dalam lingkaran hidupku. Semoga mereka beristirahat dalam damai dan kebahagiaan abadi di surga.

Tadi malam, sepulang dari melayat, sebelum tidur aku memutar film secara acak dari koleksi temanku Catur Wibowo. Judulnya “The Age of Adaline”. Dan ya ampun, film itu seolah melengkapi permenunganku tentang bagaimana kehidupan ini musti dijalani secara wajar.

Bagaimana kalau umur kita bertambah tua tetapi penampilan kita ageless – tak menua – dan tetap segar seperti umur 29 tahun? Semula menggembirakan karena tetap cantik dan menarik…. Tetapi bagaimana kalau hal itu tetap berlanjut sampai berumur 107 tahun ketika wajah dan penampilan anak kita pun malah seperti wajah dan penampilan orang tua kita sendiri? Atau, bagaimana kalau kita sendiri tidak bisa menemani pasangan hidup kita tampil menua dari hari ke hari?! Ageless, selalu tampil segar dan cantik itu tentu menyenangkan. Tetapi apa arti hidup ini bila tidak bisa menemani pasangan hidup kita untuk bersama-sama menjadi menua dari hari ke hari? Dia semakin kelihatan tua, sementara aku masih segar bugar seolah umurku tak bertambah?!

Aku ingin sekali bilang kepada istriku, “Ma, aku ingin menemanimu menjadi tua merangkai mahkota kehidupan seindah mungkin sampai saatnya tiba. I love you!”

“It’s not the same when there’s no growing old together. Without that, love is just heartbreak.” – Adaline Bowman. []

 

Permalink 4 Komentar

Hari ini 1 Maret 2016

1 Maret, 2016 at 5:27 PM (Blogroll, Uncategorized)

This Way - Tukang Sol Sepatu Keliling

“This Way” – Because I still do not understand the message yet for me. The insight is still out there…

DHUUUH! Lama bener blog ini terlantar. Postingan terakhir bertanggal 31 Juli 2009. Enam tahun lebih! Ya ampun… Enam tahun tanpa kabar gembira yang dibagikan! Sementara perkembangan jaman sudah melesat sedemikian cepat. Saat itu dunia blogging masih dikuasai oleh blogspot dan wordpress. Sekarang sudah ada miniblog seperti twitter, facebook, path, photoblog seperti instagram, trus ada lagi vlog untuk menyebut videoblog. Dunia sosial media sudah sederas itu perkembangannya. Setiap orang berbagi status, berbagi berita dan ilmu pengetahuan, berbagi pendapat dan inspirasi… Sementara halaman ini merana ketinggalan…. dari 31 Juli 2009 sampai 1 Maret 2016.

Dan selama itu pula kepala dan dada ini sebenarnya didera oleh lintasan-lintasan yang berseliweran di sepanjang jalan.

Seingatku, Juli 2009 adalah akhir karirku sebagai awak media sebuah harian cetak dan online di Jakarta. Sekarang media itu sudah offline karena ownernya tersangkut kasus besar yang melibatkan pimpinan KPK. Semenjak itu aku sempat beberapa bulan kembali ke dunia lama di perusahaan outsourcing dan nyambi mengembangkan talenta design grafis dengan ikut bergabung di 99designs.com. Bersyukur diriku, dari situs itu aku beberapa kali memenangkan kontes dan mendapat penghasilan tambahan yang sangat membantu menopang hidup bersama istri dan anak. Di perusahaan outsourcing aku hanya sampai Desember 2009. Meski masih bekerja di sana hingga akhir Januari 2010, aku tidak menerima gaji, dan betapa aku terepukul sekali waktu itu. Namun penyelenggaraan Tuhan tetap menyertai, pada saat terpukul itu aku tertolong oleh kemenangan salah satu kontes logo di 99designs.com. Sebulan berikutnya aku nganggur, sampai akhirnya aku dibantu untuk memasuki dunia kerja lagi, meski di bidang usaha yang baru dan asing sekali: agent property. Aku ingat, 8 Maret 2010 adalah hari pertama aku masuk di LJ Hooker Indonesia, nama perusahaan itu, hingga masih aktif sampai sekarang!

Sepertinya memang karena harus tertatih-tatih menyesuaikan diri di dunia baru itulah aku sampai tidak bisa menyempatkan diri merawat blog ini, dan blog-blogku yang lainnya. Meskipun sebenarnya pekerjaanku waktu itu dimulai dengan tulis-menulis artikel dan berita untuk terbitan cetak dan online, namun tugas-tugas berkembang menjadi macam-macam. Dari tukang nulis, fotografer, sekalian illustrator dan design grafis, trus berlanjut sekalian mengelola website, dan berujung di departemen Teknologi Informasi, sampai sekarang. Sungguh sebuah petualangan tiada tara dari seorang yang berlatar pendidikan Filsafat-Teologi!

Enam tahun berjalan dengan banyak pengalaman seiring tugas perusahaan. Aku jadi sering keluar kota, bahkan keluar pulau Jawa: Bali, Sumatera dan Sulawesi. Lumayan seneng dan sangat beruntung aku.

Namun mengerjakan tugas dengan fokus di bidang IT terpaksa sedikit demi sedikit mengurangi intensitasku terlibat di 99designs.com. Satu dua kali masih bisa menyempatkan diri karena tuntutan customer. Passion utamaku sebenarnya menjadi tidak jelas. Tahu banyak, bisa banyak, tetapi tak satupun aku kuasai secara mendalam! “I am a jack-of-all-trades, but master of none!” Sejurus aku sempat menjadi sedih, mengingat usiaku sudah hampir pertengahan kepala 4, dan anakku sudah dua, Gabriel kelas 1 SD dan Celine kelas TK kecil. Itu aku sadari akhir Januari 2016 lalu.

The Broken Road RanchDan sejak menyadari itu sepertinya ada hembusan baru untuk merenda hari-hari dengan lebih serius demi perkembangan yang lebih baik.  Aku tak ingin malu pada Tuhan sewaktu doa sebelum tidur di malam hari… Hari-hari menjadi seperti retret untuk sebuah resolusi hidup yang lebih baik. Aku percaya dan yakin, penyelenggaraan kasih Tuhan selalu mengalir dalam hidupku.

“Nyanyikanlah lagu baru bagi Tuhan, pujilah nama-Nya!” []

Permalink 2 Komentar

Setangkai Mawar Berduri untuk Perempuan Indonesia*)

31 Juli, 2009 at 9:34 AM (Insight, Pijar Optimisme, Reflection, Resensi) (, , , , , , , )

Oleh: Agustinus Sukandar

“Remember the Dignity of your womanhood. Do not appeal. Do not beg. Do not grovel. Take courage. Join hands, stand beside me, fight with me!”
(Ingatlah akan martabat Anda sebagai perempuan. Jangan cengeng. Jangan mengemis-ngemis. Jangan rendah diri. Berbesarhatilah. Mari bergandeng tangan, berdiri di samping saya, berjuang bersama saya!)


PESAN Risa Amrikasari dalam buku terbarunya ‘Especially for You’ itu begitu kuat ditujukan kepada kaum perempuan. Misinya jelas: mengajak perempuan untuk bangkit dari ‘tidurnya’, dan bersikap tangguh dengan kesadaran yang cerdas tentang keluhuran martabatnya.

Risa bahkan memberi warning di sampul belakang buku setebal 372 halaman itu, “Anda termasuk orang yang senang membaca hal-hal yang membuai dan menghayutkan? Anda tidak akan menemukan itu di buku ini. Jika Anda berharap menemukan tulisan-tulisan yang romantis ataupun lemah lembut, Anda akan sedikit tertoreh dengan kalimat-kalimat saya.”

Dengan gaya bertutur yang tidak membosankan Risa menuliskan nukilan-nukilan pengalaman pribadi dari kehidupan sehari-hari ke dalam 65 judul artikel mandiri. Kenyataan yang sering diabaikan atau bahkan dihindari oleh orang-orang karena takut menyinggung perasaan, dia bongkar dengan teliti untuk kemudian mengemukakan sikap mana yang harus dikritisi dan diubah, serta mana yang patut dibela. Ia mengulas dari soal mengelola perasaan, kepercayaan terhadap pasangan, perselingkuhan, cinta dan pacaran, sopan santun, perkawinan, perselisihan pendapat, pelecehan seksual, seks di luar perkawinan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perceraian, urusan kantor dan pekerjaan, hingga soal tradisi, agama, bahkan birokrasi, politik, hukum dan perundang-undangan.

Memang, buku ini ditujukan ‘teristimewa bagi perempuan’. Namun kaum laki-laki pun sebetulnya diam-diam menerima ‘kado’ yang sangat bernilai. Meski tema pokoknya adalah martabat perempuan (womanhood dignity), namun siapapun – termasuk laki-laki – yang membaca artikel demi artikal dalam buku ini, seperti diajak me-review kembali pemahaman dan sikapnya berkaitan dengan keluhuran martabat sebagai manusia (human dignity). Buku ini memberi model untuk sebuah upaya demi kemajuan dan kemerdekaan perbikir di Indonesia, terlebih untuk kaum perempuan yang enggan untuk bertatapan langsung dengan persoalan-persoalan esensial seperti itu.

Rupanya Risa sadar betul, bahwa untuk membongkar kesaradan akan martabat perempuan tak akan tercapai bila menggunakan cara penyampaian deduktif, biarpun terstruktur serapi mungkin. Pengalaman empiris dari hidup sehari-hari menjadi jalan yang jitu, karena perempuan sangat akrab dengan hal-hal yang detil dan teliti, apalagi menyangkut wilayah ‘domestik’ dunia perempuan. Proses pergulatan Risa melalui medium pengalaman sehari-hari itu dia bagikan dengan kapasitasnya sebagai seorang perempuan yang tidak rela bila sesamanya rapuh dan menyerah pada konsep-konsep yang membelenggu.

Dilahirkan 22 Oktober 1969, perempuan cantik ini dibesarkan dalam keluarga yang mendidiknya dengan penuh cinta dan rasa hormat. Bakatnya untuk cermat terhadap detil hidup sehari-hari dan tak bisa duduk berdiam diri berlama-lama dalam mengerjakan sesuatu, membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang cekatan, tangguh dan resourceable (bisa diandalkan). “Always make a total effort, even when the odds are against you” adalah kutipan favoritnya dari Arlnold Palmer.

Lulusas Fakultas Sastera Inggris Universitas Nasional tahun 1994 ini sekarang sedang mendalami Ilmu Hukum di Program Magister Hukum UGM, sambil bekerja di International Organization for Migration sebagai Government Liaison Officer dan sebagai Associate pada Prihartono & Partners, sebuah kantor hukum di Jakarta. Buku pertamanya ‘You Need a GOOD LAWYER to Set You Free from the Jail of Your Heart’ sukses merebut hati pembaca. Tulisan-tulisan di blognya sangat diminati oleh penggemarnya.

Tak heran bila tema-tema dalam artikel di buku yang kedua ini sangat kental dengan kasus-kasus yang bersinggungan dengan hukum dan tak jauh dari perjuangan hak-hak asasi serta martabat manusia terutama perempuan. Di artikel terakhir, ‘Perempuan, lawan kekerasan itu!’ secara mendetil Risa mengajak kaumnya untuk mengenali pasal demi pasal UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Perempuan yang bermartabat jangan sampai terjebak menjadi korban apalagi sebagai pelaku kekerasan domestik!

Gaya bertutur Risa yang lugas enak dibaca, seperti mendengarkan seseorang yang curhat, ngerumpi, tetapi bermutu karena menggugah pembacanya untuk memakai cara pandang baru, bersikap positif dan cerdas, tidak hanya dikendalikan oleh emosi dan perasaan dalam hidupnya! Remake yourself, refresh yourself! (hlm. 40-47), sehingga ada ‘nyanyian baru’ dalam hidup pembaca.

Meski beranjak dari pengalaman personal domestik keperempuanan, Risa Amrikasari berhasil memasukkan isu politis. The personal is political.

Isu ini populer dalam gerakan-gerakan feminis di Amerika pada paruh kedua tahun 70-an, dan mendapatkan ruangnya dalam proses kreatif para seniman perempuan Amerika (feminist art).
Generasi pertama dari gerakan-gerakan feminis ini cenderung mengeksplorasi isu-isu multikulturalisme dan feminisme dengan berangkat dari pernyataan identitas perempuan dan upaya perlawanan. Simbol-simbol visual yang mereka gunakan, menyampaikan pesan secara verbal dan kontroversial. Mereka mempertanyakan hal-hal yang berkaitan dengan tubuh dan isu komodifikasi. Pengalaman keperempuanan ditatapkan dengan wilayah sosial, bahkan politik. Karya-karya mereka merupakan bagian dari gerakan politik untuk mendukung kesetaraan dan persamaan hak bagi perempuan. Dalam proses berkarya mereka langsung bersentuhan dengan problem riil dalam masyarakat, menciptakan diskusi dan pemikiran, menginisiasi perdebatan dan bersifat partisipatif untuk proses sosial.

Alih-alih menggunakan bahasa yang verbal, generasi kedua cenderung menyampaikan kritisisme mereka dengan metafor. Pengalaman personal yang bersentuhan dengan isu-isu sosial-politik aktual menghadapkan mereka pada berbagai kontradiksi yang kemudian dituangkan dalam karya sebagai sebentuk kritisisme untuk membangun dialog yang berkaitan dengan isu tertentu. Relasi antara agama dan manusia, yang nyata dengan yang maya, harmoni dan ancaman, menjadi isu-isu yang mereka angkat. Dalam isu-isu itu ada semacam tuntutan tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.

Sementara generasi ketiga menampilkan pengalaman personal dengan keinginan untuk merayakan dan membagikan pengalaman itu, bukan dengan spirit untuk melawan atau berpartisipasi menciptakan diskursus tertentu. Mereka cenderung ‘menerima’ situasi-situasi dimana perempuan mempunyai lebih banyak pilihan sebagai sesuatu yang ‘given’. Mereka ini umumnya tidak menjumpai kesulitan untuk berkontribusi dalam kehidupan publik. Karya-karya mereka dekat dengan budaya populer.

Risa Amrikasari pasti mengerti tentang pola-pola dalam gerakan para seniman perempuan, dan sadar betul tentang porsi mana yang pantas diberikan kepada kaum perempuan Indonesia. Di sinilah, kepiawaian Risa ditampilkan dalam membagikan gagasan-gagasan perubahannya. Mungkin ciri pertama terkesan begitu kuat. Namun barangkali perempuan Indonesia saat ini memang harus ‘digebrak’ dengan pendekatan seperti itu.

Untuk membaca tulisan-tulisan Risa Amrikasari dalam buku ini rasanya tak perlu memasang ‘kuda-kuda’ terlebih dahulu seperti mau bertempur menghadapi lawan yang asing. Namun yang dibutuhkan adalah hati yang terbuka, seperti kedua belah telapak tangan yang menyambut setangkai mawar merah dari pribadi yang benar-benar tulus mencinta. Mawar itu harum wangi, meski tangkainya bisa saja berduri… [skd]

Judul buku : Especially for You, A collection of Self Motivation Articles for Tough Women Only.
Penulis : Risa Amrikasari

Penerbit : Rose Heart Publishing

Editor : Risa Amrikasari
Edisi : Cetakan pertama, 2009
Percetakan : PT. Gramedia, Jakarta
Halaman : xx +352


*) Dimuat di halaman opini Harian Merdeka, Kamis, 30 Juli 2009.

Permalink 4 Komentar

Bangsa Indonesia memang bukan Winnie the Pooh cs.

3 Maret, 2009 at 5:11 AM (Family, Insight, Intermeso, Nasionalisme, Reflection) (, , , , )

Ya jelas bukan! Judul yang aneh dengan negasi yang sekenanya!

Tapi memang itulah yang terlintas di benakku ketika tiba-tiba aku menyadari bahwa semakin banyak merchandise Pooh di rumahku semenjak si kecil Gabriel lahir. Ada sticker Pooh di lemari es. Ada poster Pooh di pintu lemari pakaian, belum lagi yang ditempel di dinding dekat cermin bersolek. Ada bantal Pooh. Ada boneka tangan Pooh. Ada lagi tas bagor bergambar tokoh kartun Disney itu. Dan yang terakhir, istriku baru pesen selimut Pooh untuk si i’el!

Heran aku! Tapi lama-lama aku menikmatinya juga. Soalnya karakter beruang madu berbulu kuning keemasan itu begitu imut dan menggemaskan, lucu! Memandangnya saja sudah terpancing untuk senyum. Tak terasa otot-otot di ujung garis mulut ini tertarik ke atas, dan membawa perbawa segar di hati: ada kegembiraan! Perbawanya mampu mengusir kesuntukan barang beberapa saat. Namun, saat seperti itu bisa sedemikian menentukan untuk kesegaran-kesegaran berikut. Sayang bila hal ini tak pernah disadari, pikirku. Seandainya aku bisa mengabadikannya – seperti mengabadikan senyum anakku dengan kamera saku yang baru – aku ingin melakukannya. Ya beginilah jadinya: tulisan ini.

Tapi apa hubungannya dengan bangsa Indonesia? Ntar dulu…

Lihat dulu atau baca dulu barang sedikit tentang Winnie The Pooh! Di Ashdown Forest – tempat dia dan teman-temannya tinggal – Pooh terkenal sebagai beruang pahlawan, pernah dijuluki Knighted “Sir Pooh de Bear”. Seperti kebanyakan makhluk hidup – termasuk manusia, hehehe… – kalau pagi pasti bertanya, “Sarapan apa, ya?” Meskipun cuma badannya yang gede dan katanya otaknya kecil, namun dia suka berpikir, “Think, think, think!” Bahkan, dia suka mengarang puisi dan lagu! Teman bermain paling deket adalah Piglet, seekor babi kecil berwarna pink (Aaah.. dunia fabel memang penuh kedamaian kayaknya). Berpetualang dan mengunjungi sahabat sesama penggemar madu adalah kegiatan sehari-hari. Sifat beruangnya kadang juga muncul: suka bosan!

Namun terlepas dari lihat (filmnya) dan baca (cerita, ulasan dan komiknya) tentang si Pooh, kehadirannya dalam rupa-rupa merchandise itu telah mampu mengajak siapapun yang memperhatikannya untuk memasuki dunia dongeng.

Tiket masuknya sederhana: senyuman! Tanpa itu orang takkan mampu masuk ke dalam dunia indah warna-warni penuh keceriaan dan kegembiraan yang murni! Saking murninya, dalam dunia fabel pun ada lukisan kegembiraan itu. Kehadiran Pooh dan teman-temannya itu seolah ingin menyampaikan pijaran kegembiraan murni makhluk Tuhan, yang nota bene mestinya ada juga di dunia manusia! Adalah anak-anak – atau mereka yang appreciate terhadap dunia anak (jadi bukan yang kekanak-kanakan) – yang pertama kali mampu menangkap getaran yang menumbuhkan senyum dan keceriaan itu. Pooh… sosok karakter yang mampu diterima, bahkan oleh anak-anak! Anakku Gabriel yang baru berumur dua bulan saja bisa tersenyum-tertawa ketika melihat boneka tangan Pooh kumain-mainkan di depannya.

Naaaah… sekarang baru ngomong tentang bangsa Indonesia.

Gak perlu panjang lebar kok duduk permasalahannya. Aman jika aku hanya bertanya saja (hehehe…): Kalau melihat (foto, filem, tayangan berita tv) dan membaca (koran, buku, sejarah hingga kini) atau mendengar (cerita, berita, komentar, dll.) tentang Indonesia, adakah yang mampu membuat kita spontan tersenyum tulus untuk tertawa dalam kegembiraan? Gak ada? Mosok siiiih? Kalau tidak ada, terus karakter macam apa yang terpancar dari bangsa kita tercinta ini? Mosok tidak ada yang bisa masuk ke relung fabilitas (hahaha…ini istilahku sendiri untuk mengaitkan hal ini dengan dunia fabel) yang akrab dengan anak-anak bangsa ini?

Ya, jelas… bangsa Indonesia memang bukan Winnie the Pooh cs.! Karakter Pooh (dan sebangsanya) rupa-rupanya lebih jelas dari pada karakter bangsa Indonesia! (Eh, yang ini sudah sebuah judgement, ya?) Katanya sih, kita sedang membangun karakter bangsa kita… bersama-sama. Dan yang jelas lagi, bangsa Indonesia mestinya bukanlah boneka mainan anak-anak balita, anak-anak TK maupun SD!

Semoga suatu saat anak-anak pun bisa tersenyum-tertawa tulus, gembira-ceria karena menjadi bagian dari bangsa Indonesia! Amin.

(Posting ini aku tulis karena aku tersadar juga bahwa anakku adalah anak Indonesia! Sebuah anugerah yang menyertakan tanggung jawab kebangsaan juga dalam keluarga sebelum dia diajak menghafalkan butir-butir Pancasila di sekolahan nanti…) [skd]

Co-past dari: BornJavanese

Permalink 1 Komentar

Next page »