Aku bukan perempuan, tapi …

21 April, 2008 at 4:50 AM (Reflection) (, , , , , , )

Ada dua perempuan yang mengesankan hatiku selama kurun waktu satu setengah tahun terakhir: Anna Maria dan Ninih Muthmainnah. Keduanya seakan mewakili ketegaran jiwa dan hati perempun dari lubuk paling dalam. Mutiara-mutiara bening yang acapkali menetes keluar dari sudut kelopak mata mereka tak urung memantulkan kilauan sinar ilahi sekaligus insani yang kemudian memberkas dalam setiap ingatan orang yang tersapu berkas sinar itu.

Anna MariaSiapa tak kenal Anna Maria? Model terkenal di era 80-an, istri bintang film pujaan di era yang sama, Roy Marten. Namanya kembali mencuat di tahun 2006, bukan lantaran kemodelannya, tetapi karena kasus narkoba yang menimpa suaminya. Belum genap setahun sang suami keluar dari bui tahun 2007, di awal tahun ini kasus yang sama menimpa lagi. Untuk kedua kalinya luka hati yang sama menganga lagi. Namun Anna Maria masih tetap tegar menerimanya.

Siapa pula tak kenal Hj. Ninih Muthmainnah? Seorang perempuan cantik luar dalam, istri K.H. Abdullah Gymnastiar. Namanya justru semerbak semakin harum saat popularitas suaminya menurun setelah sang ustadz berpoligami dengan memperistri Alfarini Eridani.

Tak perlu aku memperkenalkan mereka lebih jauh. Aku sendiri belum pernah ketemu mereka, hanya sempat melihat wajah-wajah ayu itu di layar televisi. Aku “mengenal” mereka hanya dari kilauan nurani yang kebetulan tertangkap dari pantulan mereka selama tampil melalui tayangan media. Mungkin Anda justru lebih mengenal mereka secara lebih dalam.

Dengan “mata”-ku seolah mereka memperkenalkan nilai-nilai luhur yang ternyata bukan hanya sekedar idealisme religius semata, tetapi sungguh konkret mereka hayati dan perjuangkan secara nyata. Itulah nilai-nilai yang sebetulnya semua orang pernah dengar, mungkin juga “kenal” atau “tahu”, namun malu-malu atau bahkan takut-takut untuk sekedar “menyentuhnya”. Itulah nilai-nilai yang menjiwai kata-kata: “kesetiaan”, “ketulusan”, “cinta-kasih”, “pengorbanan” dan “tanggung jawab individu di hadapan Sang Khalik”. Sebuah kebetulan yang hampir menjadi trade-mark bahwa nilai-nilai itu terpancar dari sosok kaum perempuan. Meskipun nilai-nilai itu bukan monopoli kaum Hawa, namun lihatlah, betapa kelekatan nilai-nilai itu pada mereka tampil seindah-indahnya.

Aku bukan seorang perempuan – secara genetik aku laki-laki! Namun secara nurani, aku yakin dalam diriku mengalir jiwa perempuan. Taruhlah itu sebagian warisan yang aku terima karena aku pernah menyatu dalam kandungan ibuku. Maka sebetulnya nilai-nilai itu aku “kenal” juga. Kalau sekarang aku melihat bahwa seakan-akan nilai-nilai itu ada “di luar sana” sebetulnya aku patut mencurigai diriku sendiri: jangan-jangan aku ini benar menderita split-personality!

Ada banyak figur perempuan yang hadir dalam hidupku. Beberapa begitu istimewa dan special buatku. Dan setiap kali aku merenungkan kilauan-kilauan nilai yang secara istimewa terpantul dari mereka, saat itulah aku diajak kembali untuk menyatukan lagi diri yang saat itu terbelah. [skd]

Permalink 2 Komentar