Teror terhadap (keyakinan akan) keutamaan

8 Februari, 2008 at 4:23 AM (Insight, Reflection) (, , , , , , , , , )

Seandainya mereka membaca tulisan ini…
(barangkali ini bukan good-news)

Pagi ini aku selintas menyaksikan liputan berita pagi dari sebuah stasiun televisi swasta. Sebuah rumah dari keluarga kaya di kawasan Sunter dijarah maling. Dan ternyata, malingnya adalah pembantu rumah tangganya sendiri! Ironisnya,  pembantu rumahnya itu dulu-dulunya direkomendasikan oleh orang kepercayaan pemilik rumah itu sendiri! Pada awalnya, pembantu rumah tangga itu menampakkan tabiat yang baik. Belakangan mulai nampak gejala-gejala yang tidak menyenangkan, dia mencuri!

Ironis memang! (Ironi= Sindiran dengan menyembunyikan fakta yang sebenarnya dan mengatakan kebalikan dari fakta tersebut. – Wikipedia.)

Masih banyak sebetulnya fakta-fakta ironis seperti itu bertebaran di antara kita; fakta-fakta yang sungguh mengecewakan dan membuat hati terperanjat, terperangah. Lebih dari itu, ada sebuah “teror” terhadap nilai-nilai keutamaan yang secara naluriah kemanusiaan dihormati. Teror adalah suatu kondisi takut yang nyata, perasaan luar biasa akan bahaya yang mungkin terjadi. Keadaan ini sering ditandai dengan kebingungan atas tindakan yang harus dilakukan selanjutnya (Wikipedia). Oleh banyaknya fakta ironis semacam itu di tengah masyarakat kita, seolah-olah penghormatan kita terhadap nilai-nilai keutamaan dalam hidup bersama (kejujuran, ketulusan, kebaikan budi, dll.) digiring ke arah penghormatan yang setengah-setengah, tidak total lagi. Kita menjadi tergoda untuk menilai orang yang berpenampilan soleh adalah orang yang munafik. Seolah-olah sikap curiga terhadap kebaikan orang lain semakin mendapatkan pembenarannya.

Aku teringat peribahasa “Gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga!” Dosa seseorang berdampak pada banyak orang! Bukan hanya dampak secara fisik, tetapi juga secara mental! Gila! Dan setelah  mengikuti berita itu kemudian aku berkomentar, “Kasihan para pembantu yang betul-betul baik luar dalam! Oleh berita ini, dan berita-berita serupa, kebaikan mereka menjadi dipandang setengah hati.” Gantilah “pembantu” itu dengan figur-figur lain: pemulung, tukang sol sepatu, tukang ojek, guru, uztad, pendeta, pastor, polisi, lurah, camat, bupati, …

Sikap percaya (trust) akan, dan juga kebaikan seseorang menyangkut soal kualitas, sesuatu yang tidak kasat mata, begitu cair dan rapuh. Orang bisa berbalik arah secara tiba-tiba ketika mengalami peristiwa yang tidak sejalan dengan apa yang dia percaya. Bahkan keyakinannya akan buah-buah baik dari aplikasi dan penghayatan nilai-nilai keutamaan dalam hidup bersama pun bisa menjadi pudar. “Kacamata hati” yang semestinya bening menjadi buram tidak nyaman. Martabat manusia, si pelaku keutamaan dan kebaikan, sungguh-sungguh dipertaruhkan.

Jadi,  siapa lagi yang Anda akan percayai?

Ah, tetapi pertanyaan itu menjurus, seolah-olah diri ini berada di luar linkaran kebersamaan. Pertanyaannya diganti saja ya…

Jadi, dapatkah aku dipercaya, lahir batin?

Ada sebuah motto: “In God we trust!”
Namun rasanya motto itu kurang sempurna bila tidak disertai keyakinan bahwa diriku (manusia) ini dalam kadar tertentu adalah gambaran (image) kelihatan dari Tuhan Sanga Mahabaik. Atau…Anda kurang yakin akan hal ini? 🙂 Kalau kurang yakin, ya…mari kita khianati diri kita sendiri!

Ah, betul-betul ini menyangkut masing-masing individu. Tapi kayaknya, bukan semata-mata deh! Karena kebaikan mesti dirayakan. Adakah perayaan dilakukan sendirian? Kurang seru dong! ***

Tinggalkan komentar