Sepatah Ranting Kering (2) – Puisi Peziarah
Pukul delapan
hari Jumat
tanggal dua belas
bulan ketujuh
tahun kedua kesendirianku
sepatah ranting kering
lama terselip di mejaku
merana berselimutkan debu
Kutatap kau penuh ragu
Jangan, jangan kau merana lagi!
Tidak, aku tidak ragu lagi!
Baiklah kuseka kau dengan kasihku
Aku tersenyum
Kilat keringat doaku yang dulu
masih berkilau di wajahmu
Kuselipkan lagi kau di sela jari-jemariku
Mari temani aku berziarah lagi
menghias waktu menabur doa
merangkum kalbu memungut rahmat
menghadap Bunda
yang kurindu begitu lama
Bukankah dalam patahan keringmu
kausimpan kata-kata doa kepadanya?
Jangan, jangan kau merana lagi!
Tidak, aku tidak ragu lagi!
Mari kita mulai lagi perjalanan ini
Tidakkan kaulihat Bunda
dan dia yang kucinta
menunggu kita di depan sana
dengan harap-harap cemas?
Tahukah kau, wahai ranting keringku?
Di kilatmu terpantul wajahnya
untuk siapa kita berdoa
Di kilatmu terpantul wajah mereka
yang menaruh hati pada kisah cinta ini
Mari kita berdoa untuk semua
Semoga karena kisah ini
mereka terberkati
terlebih dia yang kukasihi
kepada siapa nanti kan kuberi
sebagai penghormatanku
di puncak perjalanan ini
dirimu yang rapuh dan kering
namun berkilat
oleh keringat doa peziarah
Wahai ranting keringku
aku akan selalu rindu
berziarah bersamamu
Kandar Ag. – Mlati, 24-27 Juli 2002
nesia said,
20 September, 2007 pada 10:05 AM
Wah… wah… Bisa berpanjang lebar membahas kentut, tp bisa jg jadi begitu puitik bicara tentang sebuah ranting kering.
Hebat! Semua bisa jadi kabar baik!
artja said,
24 September, 2007 pada 6:00 AM
puisinya bikin takjub. salam kenal